Rabu, 29 Desember 2010

Sikap Umat Islam di Hari Natal dan Hari Raya Agama lainnya


Oleh : Wilda Nurlaila Qadri*
Ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan kepadanya (yang artinya) : " Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah ?" Dia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya, "Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka ?" Dia menjawab, "Tidak". Maka Nabi bersabda, "Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam"

Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi'ar-syi'ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala' (loyalitas) kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi'ar-syi'ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka (kini kebanyakan berpesiar, berlibur ke tempat wisata, konser, acara musik, diakhiri mabuk-mabukan atau perzinaan, red). 

Dan diantaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya
.
Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, "Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan :

Pertama. Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari'atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.


Kedua. Karena hal itu adalah bid'ah yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu".

Beliau juga mengatakan, "Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi'ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-'Aql 1/425-426).

Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [1] maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi'ar-syi'ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan. "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi". Abdullah bin Amr bin Ash berkata, "Siapa yang mengikuti negera-negara 'ajam (non Islam) dan melakukan perayaan Nairuz [2] dan Mihrajan [3] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.

Footnote :
[1] Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah 'tanpa sengaja'.

[2] Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang
bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.

[3] Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan atau
ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara tidak panas
dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta yang diadakan untuk
hari bahagia -pent.


(Dinukil dari tulisan Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, dalam kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy[Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1])

Bagaimana semestinya sikap Muslim yang tepat menyikapi hari raya Natal/Tahun Baru/Non Muslim lainnya ?

Berikut nasihat dari Komisi Tetap Saudi Arabia


"Sesungguhnya nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan iman serta istiqomah di atas jalan yang lurus. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memberitahukan bahwa yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs. An Nisaa :69). 
Jika diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati bahwa musuh-musuh Islam sangat gigih berusaha mema-damkan cahaya Islam, menjauhkan dan menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga tidak lagi istiqomah.Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah Ta'ala di dalam firman-Nya, diantaranya, yang artinya: "Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesung-guh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. 2:109) 

Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala yang lain, artinya: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi beng-kok, padahal kamu menyaksikan". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 3:99) 

Firman ALLAH (yang artinya) : " Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta'ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi". (QS. 3:149) 

Salah satu cara mereka untuk menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus)yakni dengan menyeru dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan masyara-kat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja. Oleh karena itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.Secara garis besar fatwa yang dimaksud adalah: 

Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya.

Perayaan yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya berisikan pesan ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran secara syar'i seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan antara Islam dengan agama lain. Juga tak dapat dihindari adanya simbul-simbul keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun perbuatan yang tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat Yahudi atau Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau kalau tidak agar orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga biasnya menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan siasat untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga akhirnya merasa asing dengan agamanya sendiri.

Telah jelas sekali dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang larangan meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu merupakan ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam hal ini adalah Ied atau hari besar mereka.Ied di sini mencakup segala sesuatu baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh orang kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan, termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang mereka lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang kafir yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap muslim untuk ikut mengagungkannya.

Larangan untuk meniru dan memeriahkan hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas juga dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain: 

Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan. 

Dukungan dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam batin yakni akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa terasa. 

Yang paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan terhadap hari raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin terhadap orang kafir yang bisa menghapuskan keimanan.Ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala, (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya o-rang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (QS. 5:51)

Dari uraian di atas, maka tidak diperbolehkan bagi setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi dan rasul, untuk ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut.Karena hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah.Dia telah melarang kita untuk tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran, sebagaimana firman Allah, (yang artinya) : "Dan tolong-menolonglah kamu di dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS. 5:2)

Tidak diperbolehkan kaum muslimin memberikan respon di dalam bentuk apapun yang intinya ada unsur dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan orang kafir, seperti : iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam dinding atau fandel; menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang dimaksud; membuat cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan mengirimkan kartu ucapan selamat; membuat buku tulis;memberi keistimewaan seperti hadiah /diskon khusus di dalam perdagangan, ataupun(yang banyak terjadi) yaitu mengadakan lomba olah raga di dalam rangka memperingati hari raya mereka. Kesemua ini termasuk di dalam rangka membantu syiar mereka.

Kaum muslimin tidak diperbolehkan beranggapan bahwa hari raya orang kafir seperti tahun baru (masehi), atau milenium baru sebagai waktu penuh berkah(hari baik) yang tepat untuk memulai babak baru di dalam langkah hidup dan bekerja, di antaranya adalah seperti melakukan akad nikah,memulai bisnis, pembukaan proyek-proyek baru dan lain-lain. Keyakinan seperti ini adalah batil dan hari tersebut sama sekali tidak memiliki kelebihan dan ke-istimewaan di atas hari-hari yang lain.

Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka.Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata, "Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah disepakati kaha-ramannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, "Selamat hari raya (dan yang semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjeru-mus ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid'ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah". Demikian ucapan beliau rahimahullah!

Setiap muslim harus merasa bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di dalam hal ini adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah disepakati oleh para shahabat Radhiallaahu anhu, sebisa mungkin kita pertahan kan penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung. Kaum muslimin sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad), selalu menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini, tidak perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu. 

Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan Allah dan laknatNya. Hendaknya ia mengambil petunjuk hanya dari Allah dan menjadikan Dia sebagai penolong. 

(Dinukil dari Fatwa Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi tentang Perayaan Milenium Baru tahun 2000. 

Tertanda
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh
Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadyan, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syakh Shalih bin Fauzan Al Fauzan) 


(Dikutip dari terjemah Kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid, Penulis Dr Shalih bin Fauzan)

Hari raya Natal ada keganjilan di masyarakat Indonesia
Sejak 1980-an tiap hari raya Natal ada keganjilan di masyarakat Indonesia. Hampir setiap pejabat publik, presiden, gubernur, menteri, dan lain-lain yang agamanya Islam terlihat mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani.
Bahkan tidak sedikit di antara para pejabat publik tersebut menghadiri perayaan Natal. Amien Rais yang sering dikelompokkan sebagai seorang tokoh muslim militan yang anti-Natal, misalnya, ketika menjabat ketua MPR sering terlihat menghadiri acara-acara Natal dan berbicara akrab dengan para pendeta dan pastor. Sikap Amien Rais ini semakin jelas ketika mencalonkan diri jadi presiden RI pada 2004. Amien Rais sering hadir dalam acara-acara yang diadakan umat Kristiani, baik itu di acara Natal, Paskah, maupun lainnya. Amien juga sering terlihat berada dalam lingkaran para pemimpin Kristiani.
Tidak demikian halnya dengan Hidayat Nur Wahid ketika menjadi ketua MPR. Hidayat, belum pernah terlihat muncul dalam acara Natal. Hidayat tampaknya konsisten terhadap ”larangan” mengucapkan Natal–apalagi menghadiri—acara perayaan Natal. Hidayat rupanya termasuk tokoh yang patuh terhadap fatwa MUI yang melarang umat Islam merayakan Natal. Bagi MUI, umat Islam yang ikut merayakan Natal, bahkan mengucapkan selamat Hari Raya Natal pun hukumnya haram karena merusak akidah. Merayakan dan mengucapkan selamat Natal, bagi MUI, sama artinya dengan mendukung keimanan umat Kristiani bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan.
Padahal bagi umat Islam, Isa Al-Masih seorang rasul Allah yang kedudukannya sama dengan rasul lain. Kenapa Amien dan Hidayat– untuk melihat dua ikon tokoh Islam yang berasal dari ”rumah” yang sama, Muhammadiyah–mempunyai perbedaan sikap? Mungkin karena Amien adalah tokoh muslim yang meski dibesarkan oleh Muhammadiyah (yang awalnya berbau wahabisme), tapi mengenyam pendidikan sekuler di UGM Yogyakarta dan Chicago University, AS. Sedangkan Hidayat, yang juga orang Muhammadiyah, besar dengan pendidikan di IAIN Yogyakarta dan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Latar belakang inilah barangkali yang membedakan sikap Amien dan Hidayat dalam memandang Natal dan umat Kristen. Amien, meski dikenal seorang muslim militan–sama dengan Hidayat–tapi bisa menghayati makna pluralisme dalam kehidupan beragama dan bernegara. Jika pun Muhammadiyah disebut-sebut aliran yang mengadopsi wahabisme, tapi belakangan Muhammadiyah kelihatan makin condong ke ahlus-sunnah waljamaah.
Bahkan di kalangan muda Muhammadiyah–seperti ditunjukkan dalam aktivitas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pola-pola wahabisme (yang puritan dan anti-Natal) mulai dijauhi. Sikap Muhammadiyah ini– sebagaimana dikatakan AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Nasional, dalam Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (2009)–sangat positif bagi perkembangan kehidupan beragama di Indonesia.

Wahabisme dan Natal
Wahabisme adalah paham dan gerakan Islam yang didirikan Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke-18. Abdul Wahab disebut-sebut sebagai founding fathers Kerajaan Arab Saudi. Paham ini mengembangkan puritanisme, militanisme, dan ekstremisme.
Menurut wahabisme, umat Islam saat ini telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni, sehingga diperlukan gerakan untuk memurnikannya dengan jalan kembali kepada Alquran dan hadis. Pernyataan bahwa umat Islam harus kembali kepada Alquran dan hadis memang tidak ada yang salah, sebab keduanya merupakan sumber primer dalam Islam. Tapi slogan tersebut menjadi masalah karena dimodifikasi sedemikian rupa untuk membentuk sebuah nalar keagamaan yang bersifat puritan absolut. Wahabisme menganggap hanya doktrinnyalah yang benar, yang lain salah dan kafir.
Wahabisme menolak tasawuf, tawassul, rasionalisme, dan pandangan lain yang dianggap tidak berasal dari Islam. Dalam melakukan misinya, wahabisme menggunakan istilah bidah, bagi perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang tidak ada padanannya dalam Alquran dan sunah Nabi Muhammad. Siapa pun yang melakukan, berbuat dan bersikap seperti itu, dia telah melakukan bidah, dan setiap bidah adalah sesat. Lebih jauh lagi, wahabisme tidak hanya menganggap bidah terhadap orang-orang non-Islam, tapi juga menganggap salah terhadap ulama-ulama lain yang pandangannya bertentangan dengannya.
Tidak hanya ajaran tasawuf yang dianggap bidah, ajaran-ajaran lain yang menyimpang dari doktrin wahabisme pun dianggap bidah (Misrawi, 2009). Jika di Arab Saudi ada ulama terkenal, Imam Fakhruddin al-Razi, yang dianggap sesat; di Indonesia pun Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid serta orang-orang yang mempunyai pandangan keislaman yang sama dengan keduanya dianggap sesat. Kaum wahabi terkenal sangat anti terhadap orang-orang non-Islam (kafir). Salah satu fatwanya, jangan berteman dengan orang-orang kafir dan mengikuti kebiasaan mereka.
Orang-orang Islam yang berteman dan mengikuti kebiasaan orang-orang kafir sudah termasuk kafir, bahkan lebih buruk dari orang kafir itu sendiri. Dari poin seperti inilah, kemudian muncul fatwa larangan merayakan Natal dan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Merayakan Natal dan saling mengucapkan selamat Natal, menurut pandangan Wahabisme, adalah kebiasaan orang-orang kafir yang sesat. Pandangan ini jelas sangat mengganggu toleransi antarumat beragama dan meruntuhkan sendi-sendi pluralisme yang membentuk kehidupan modern.
Wahabisme menihilkan ayat Alquran surat Ali Imran ayat 113–114 ini, ”Di antara orang-orang ahli kitab terdapat umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang saleh. Nabi Muhammad pernah bersabda, ”Orang Islam yang paling baik adalah yang menebar salam perdamaian dan memberikan makanan, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak.”


Alquran dan hadis tersebut jelas jauh dari paradigma wahabisme. Wahabisme melihat sesuatu dengan sikap hitam dan putih; kawan dan lawan. Pandangan inilah yang akhirnya memunculkan benih-benih terorisme. Hampir semua organisasi yang mengusung terorisme, ideologi dasarnya–meminjam tesis AM Hendropriyono–berasal dari wahabisme itu tadi. Ciri-ciri wahabisme, misalnya, bisa tercium dari ceramah dan buku-buku Imam Samudera dan Abu Bakar Ba’asyir. Setelah menyadari ”ancaman” terorisme yang muncul dari ideologi wahabisme ini, Pemerintah Arab Saudi, yang semula sangat mendukung perkembangan wahabisme, kini mulai ”berpikir lain”.
Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz, misalnya, kini mulai bersikap terbuka dan mau berkunjung ke Vatikan. Anehnya pula, keamanan Arab Saudi pun kini sangat tergantung dari keberadaan tentara-tentara AS. Kekerasan dan ekstremisme wahabisme kini tampaknya mulai membahayakan ”tuannya” sendiri, sehingga perlu dijaga oleh tentara AS. Benar-benar sebuah dilema yang unik. Padahal semua itu adalah konsekuensi hukum alam belaka: siapa yang memelihara macan, jiwanya pun akan terancam terkaman macan itu sendiri.
Dari perspektif inilah, kita– kaum muslim Indonesia–hendaknya mulai mengkaji kembali fatwa larangan merayakan Natal dan mengucapkan selamat Natal. Fatwa tersebut jelas tidak relevan dan mengganggu terwujudnya kerukunan beragama di negara yang penduduknya sangat plural seperti Indonesia. Para ulama Indonesia yang mengharamkan memberikan ucapan selamat Natal hendaknya melihat bagaimana ulama-ulama besar Al-Azhar di Mesir dan Iran. Mereka, tidak hanya memberikan ucapan selamat Natal kepada warga Kristiani di negaranya, tapi juga biasa ikut merayakan Natal di gereja.
Sri Paus, misalnya, pernah mengakui bahwa orang pertama di dunia yang mengucapkan selamat Natal tiap tahun kepadanya adalah Ayatullah Ruhullah Khomeini. Ulama besar Mesir, Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang muslim turut merayakan Hari Raya Natal, tapi juga menghadiri undangan Natal umat Kristen (Koptik) di gereja-gereja di sana. Itulah Islam yang penuh toleransi dan rahmat. Selamat Natal, semoga Tuhan memberkahi kita semua!(*)
Referensi :
                                                      *Penulis adalah Mahasiswi KPI C / VII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar